Kamis, 26 Mei 2011

indentifikasi ektoparasit scabies

Hewan kesayanga telah menjadi salah satu kebutuhan dalam hidup, interaksi antara manusia dan hewan peliharaannya memiliki arti penting dalam hubngan sesama mahluk ciptaan Tuhan. Tak lepas dari itu kesehatan hewan peliharaan menjadi faktor penting dari kesehatan sang pemilih hewan. Sehingga hewan yang memiliki status kesahatan yang kurang baik akan mempengaruhi kesehatan lingkungan disekitarnya.
Peran penyakit yang disebabkan oleh agen parasit tidak lepas dari kesehatan hewan peliharaan dewasa ini. Banyaknya penyakit parasit yang mengganggu kesehatan hewan peliharaan menjadi faktor penentu dalam kemunculan penyakit yang bersifat zoonosis. Sehingga peran dokter hewan sangat berpengaruh dalam mengontrol kemunculan penyakit (Ljunggren, 2005).
Hal ini seperti penyakit scabies yang dapat menyerang manusia, penyakit ektoparasit  ini dapat ditularkan dari hewan peliharaan kepada pemiliknya,  penyebab dari penyakit ini tidak lain dari infeksi tungau Sarcoptes scabiei pada lapisan kulit hewan peliharaan yang terinfeksi. Sehingga hewan yang terinfeksi akan mengalami kerusakan bulu dan struktur kulit. Walaupun tidak begitu patogen terhadap manusia, penyakit ini dapat menyebabkan rasa gatal amat sangat pada orang yang kontak secara langsung dari hewan yang terinfeksi (Anonymous. 2010)
Etiologi
Scabies umumnya disebut “itch mite” merupakan penyakit yang menyebabkan gatal sehingga menyebabkan depresi dan kelelahan (Kemp et al., 2002). Sedangkan menurut Soilsby (1986) Scabies atau kudis adalah penyakit kulit yang gatal dan menular pada mamalia domestik maupun mamalia liar yang disebabkan oleh ektoparasit jenis tungau (mite). Prevalensi scabies pada manusia tinggi, para ahli dermatologi memperkirakan bahwa lebih dari 300 juta kasus scabies pada manusia terjadi setiap tahun di dunia disebabkan oleh penularan dari hewan peliharaan (Arlian et al., 1994). Tungau sarkoptik terdiri dari spesies Sarcoptes scabiei yang bersembunyi di dalam kulit dan menyebabkan kudis sarkoptik (Noble and Noble, 1989).
Nama sarcoptes berasal dari bahasa yunani yakni sarx yang artinya “daging” dan koptein yang artinya “untuk memotong” sedangkan scabiei berasal dari kata latin scabere yang berarti “menggaruk” yang berati kata yang menunjukkan gejala klinis dari infeksi scabies (Ljunggren, 2005).

Siklus Hidup
Sarcoptes scabiei mengalami empat tahap dalam siklus hidupnya yaitu telur, larva, nimfa dan tahap dewasa. Sarcoptes scabiei betina yang telah dibuahi akan mencari lokasi yang tepat di permukaan kulit untuk kemudian membentuk terowongan, dengan kecepatan 0,5 mm – 5 mm per hari. Terowongan pada kulit dapat sampai ke perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum (Doane,2009).
Di dalam terowongan ini tungau betina akan tinggal selama hidupnya yaitu kurang lebih 30 hari dan bertelur sebanyak 2-3 butir telur sehari. Telur berbentuk oval dengan ukuran 0,10-0,15 mm dan menetas dalam waktu 3 sampai 4 hari. Setelah telur menetas, larva bermigrasi ke permukaan kulit dan bersembunyi ke dalam lapisan stratum korneum untuk membangun sarang dan memakan folikel rambut sehingga menimbulkan kerontokan bulu pada daerah infeksi. Larva membutuhkan waktu selama 3 sampai 4 hari untuk berganti kulit lalu menjadi nimfa. Larva dan nimfa sering dapat ditemukan dalam kantong rambut  atau di folikel rambut dan terlihat mirip dengan tungau dewasa, hanya ukurannya sedikit lebih kecil (Ljunggren, 2005).  
Waktu yang diperlukan dari telur hingga bentuk dewasa sekitar 10-14 hari. Tungau jantan mempunyai masa hidup yang lebih pendek dari pada tungau betina, dan mempunyai peran yang kecil terhadap patogenesis penyakit. Biasanya jantan hanya hidup dipermukaan kulit dan akan mati setelah membuahi tungau betina. Sarcoptes scabiei lebih aktif dimalam hari sehingga hewan yang terinfeksi tidak dapat berisitahat dan terganggu kesehatannya (Ljunggren, 2005).
Epidemiologi
Menurut McCarthy et al. (2004) Sarcoptes scabiei ini ditemukan hampir di seluruh dunia. Penularan Sarcoptesscabiei dapat terjadi jika melakukan kontak langsung secara sengaja dengan larva, nimfa dan tungau betina fertil baik dari permukaan kulit secara langsung atau dari bendabenda yang terinfeksi Sarcoptes scabiei (Sasmita dkk., 2005). Prevalensi scabies pada manusia di negara yang belum berkembang sebesar 4% sampai 27% (Guldbakke, 2006), sedangkan prevalensi pada ternak cukup tinggi seperti pada babi sebesar 20% sampai 80% (Damriyasa et al., 2004). Di Australia dapat ditemukan pada anjing Australia (Canis dingo), srigala liar (Vulpes vulpes) dan wombat pada umumnya (Vombatus ursinus). Kematian secara luas terjadi pada srigala dan wombat yang terkena Sarcoptes scabiei (Kemp et al., 2002).
Ektoparasit tersebut disebabkan oleh jenis tungau yang sama dan strukturnya identik, tetapi secara fisiologis berbeda (McCarthyet al., 1999 yang dikutip oleh Lastuti dkk., 2006). Berdasarkan analisis sekuens daerah ribosomal RNA menunjukkan adanya perbedaan diantara spesies (Soulsby, 1986). Berdasarkan eksperimental tidak terjadi penularan scabies dari anjing ke tikus, marmut, domba, dan kambing, hal tersebut menunjukkan Sarcoptes scabiei mempunyai induk semang spesifik (Arlian et al., 1994). Tiap induk semang hanya berbeda dalam ukurannya sedangkan morfologinya sulit dibedakan (Hungerford, 1975).
Tungau ini mulai menyerang sekitar mata, pipi, hidung, kepala, jari kaki kemudian meluas ke seluruh permukaan tubuh. Penyebabnya Sarcoptes scabiei dan Notoedres cati juga kutu Haemodipsus ventricosus (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988; Sasmita dkk., 1986; Georgi. Jay. R. 1975).
Pada infestasi Sarcoptes.scabiei pada kelinci memperlihatkan gejala menggaruk-garuk terus sehingga bulu muka, kepala, pangkal telinga, sekeliling mata dan kaki rontok. Pada infestasi berat, kulit di sekeliling telinga dan hidung dapat berubah bentuk. Tungau ini cepat menyebar ke seluruh populasi kelinci. jika menyerang sudut mulut kelinci maka kelinci akan kesulitan saat makan sehingga kelinci mengalami defesiensi nutrisi dan dapat menimbulkan kematian. Penyakit ini menyerang kelinci di Lombok (Anonimus, 2008). Sedangkan Iskandar et al. (1989) melaporkan skabies di Sumedang (Jawa Barat). Sarcoptes scabiei dapat menginfestasi ke manusia karena bersifat zoonosis, Skabies merupakan penyakit epidemik pada masyarakat. Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun sekali terjadi epidemik scabies. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat juga mengenai semua umur. Insidensi kejadian infeksi sama pada pria dan wanita (Anonymous 2009).
Diagnosa
Diagnosa scabies yang sering  dilakukan saat ini masih didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis dengan membuat kerokan kulit (scraping) daerah yang menunjukan gejala krusta, dan terjadi allopesia. Tungau tidak selalu mudah ditemukan dan umumnya dengan kerokan ditemukan positif sekitar 30%-50% (Soulsby, 1986). diagnosa laboratorium dapat juga dilakukan dengan metode deteksi bahan kimia protein dari sarcoptes scabiei dengan metode SDS-PAGE Analysis sehingga diagnose dapat dilakukan dengan menemukan antigen spesifik dari sarcoptes scabiei (Ljunggren, 2005).
Diagnosa Lapangan
Diagnosa di dasarkan adanya keropeng dan kerontokan bulu pada daerah kulit bahagian oral, aurikularis, abdomenal, testis, dan sela antara digiti ekstemitas dapan dan belakang (Bowman, 2003).
Diagnosa Laboratorium
Diagnosis infestasi tungau dibuat dengan identifikasi tungau pada kelinci. Tungau dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskopis dengan kerokan kulit kemudian diletakkan di gelas obyek dan dijernihkan dengan larutan KOH 5−10%, kemudian ditutup dengan cover gelas, selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop (Iskandar, 1982; Iskandar et al., 1984; Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Riwayat Kasus
Tanggal Pengambilan Sampel : senin 16 mei 2011.
Jenis pasien                             : Kelinci Anggora
Jenis kelamin                           : Jantan
Umur                                       : ±7 bulan
Warna bulu                              : Putih
Pemilik                                    : Bapak Dani
Alamat                                    : jln. residen danubroto. Lr.keluarga no 3 geuce,
Banda Aceh

Alat dan Bahan Pemeriksaan
Alat yang digunakan adalah scalpel, objek gelas, cover gelas, mickroskop, pipet tetes sedangkan Bahan yang digunakan adalah alkohol 75%, minyak emersi,  NaOH 10%, Iodium tinktur 3% dan kapas.

Metode Pemeriksaan
Menggunakan metode kerokan kulit, dengan scalpel yang telah di lumuri dengan minyak emersi kerok keropeng pada kulit kelinci hingga berdarah, hasil kerokan diletakkan di atas objeck gelas yang telah di tetesi NaOH 10%  dan di tutup dengan cover gelas, amati di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x, bersihkan luka kerokan dengan menggunakan iodium tincture 3% dan sterilkan alat yang telah di gunakan dengan alkohol 75%.

Hasil Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan secara mikroskopis menemukan adanya  infeksi ektoparasit sarcoptes scabiei dan telur dari ektoparasit tersebut.  Hasil pemeriksaan berdasarkan morfologi dari jenis sarcoptes scabiei. Berikut adalah gambar hasil pemeriksaan mikroskopis.
Pada gambar 2 dapat diindentifikasi letak penis yang mengindikasikan sarcoptes scabiei pada gambar berjenis kelamin jantan. Indentifikasi jenis kelamin juga dapat dilakukan dengan melihat ukuran tubuh dari spesies tersebut tetapi hal ini kurang efektif karena sulit membedakan dengan bentuk nimfa yang belum dewasa.


Klasifikasi
Kingdom         : Animal
Phylum            : Arthropoda
Class                : Arachnid
Order               : Acarina
Family             : Sarcoptidae      
Genus              : Sarcoptes
Species            : Sarcoptes scabiei
(Anonymous. 2010)

Morfologi dan Identifikasi

Menurut Urquhart (2003) secara morfologi merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini transient, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Tungau betina panjangnya 300-450 mikron, sedangkan tungau jantan lebih kecil, kurang lebih setengahnya yakni 200 – 240 mikron x 150 – 200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki dan bergerak dengan kecepatan 2,5 cm permenit di permukaan kulit. Pada tahap larva Sarcoptes scabiei memiliki 3 pasang kaki dan pada tahap ninfa memiliki 4 pasang kaki. Pada tahap nimfa, Sarcoptes scabiei memiliki ukuran tubuh sedikit lebih besar hampir menyamai ukuran tubuh tungau dewasa.
Struktur tubuh sarcoptes scabiei dewasa memiliki kaki yang lebih pendek dengan bentuk tubuh yang lebih bulat dibandingkan dengan psoroptes, memiliki diameter tubuh 0,04 mm. Karakter yang paling khas dari tubuh bagian dorsal sarcoptes scabiei adalah banyaknya tonjolan duri melintang yang membentuk skala segitiga. Ciri khas lainnya yang membedakan sarcoptes scabiei dengan psoroptes adalah pada pedicel dan caruncle yang menempel di pretarsi, pedicel sarcoptes tidak bersegmen dan memiliki caruncle yang lebih kecil berbeda halnya dengan psoroptes yang memiliki pedicel bersegmen dan caruncle yang lebih lebar (Urquhart et al, 2003).
Gejala Klinis
Gejala klinis yang khas dari penyakit scabies adalah hewan mengalami rasa gatal pada daerah yang di serang, pasien sering menggaruk daerah yang terinfeksi sehingga menyebabkan luka yang menimbulkan infeksi skunder, pada daerah yang terinfeksi terjadi kontak secara langsung antara permukaan yang terinfeksi pada daerah kaki dengan permukaan wajah hal ini di akibatkan oleh sifat alami hewan yang menggaruk dengan menggunakan mulut Sehingga terjadi infeksi pada bahagian hidung dan sudut mulut pasien (Ljunggren, 2005).
Perubahan Patologi
Menurut Ljunggren (2005) pada penderita scabies Perubahan terjadi pada permukaan kulit dan struktur kulit, hewan yang terinfeksi sarcoptes scabiei memiliki ciri khas pada daerah infeksi yaitu lubang-lubang yang kecil dan membentuk terowongan pada kulit, Bentuk jalur terowongan seperti huruf ‘S’ di kulit, sangat halus, intens pruritus (gatal), ruam yang umum dan infeksi sekunder dari bakteri infektif sehingga menimbulkan penyakit dermatitis seperti impetigo atau eksim yaitu terjadinya penebalan seperti borok pada lapisan kulit yang menjadi sarang dari sarcoptes scabiei.

Deferensial Diagnosa
Secara penampilan luka yang tampak infeksi Sarcoptes scabiei hampir menyerupai infeksi dari tungau Demodex sp, chorioptes sp, psoroptes sp
Secara morfologi Sarcoptes scabiei hampir mnyerupai tubuh dari Notoedres cati dan Knemidocoptes (Urquhart et al, 2003).

Penanggulangan Infeksi
Pengobatan
Pengobatan dengan pemberian obat antiparasit seperti ivermectin injeksi, Benzyl benzoat 25%, Crotamiton 10%, Gammabenzene hexachloride 1%, senyawa Sulfur, Permetrin, yang memiliki toksisitas rendah dan karena itu dianggap sebagai pengobatan yang paling banyak di bagian dunia (McCarthyet al, 2004a.).
. Dapat juga terapi desinfektan dengan campuran alkohol, iodium dan sulfur pada daerah yang terinfeksi sarcoptes scabiei dan terapi obat salep seperti scabiesced Sehingga resiko penggunaan ivermectin pada  induk  yang sedang bunting dapat di hindari (Anonymous. 2008).
Pengendalian dan Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang dan hewan kesayangan, pemeriksaan yang rutin dan pemberian obat antiparasit secara teratur. Dan menjauhkan hewan liar di sekitar kandang kelinci yang diduga membawa agen infeksi (Anonymous. 2008).


edit by : drh.novan andrian^^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar