Kamis, 26 Mei 2011

Infeksi Strongyloides papillosus

Hewan ternak telah menjadi salah satu komoditas dalam sebuah negara, pengaruh banyaknya produksi hewan ternak dalam sebuah negara memiliki arti penting dalam kemajuan ekonomi sebuah negara. Tak lepas dari itu kesehatan hewan ternak menjadi faktor penentu tingkat produksi hewan ternak. Sehingga hewan ternak yang memiliki status kesahatan yang kurang baik akan mempengaruhi tingkat produksi yang mengakibatkan pada penurunan pendapatan sebuah negara.
Peran penyakit yang disebabkan oleh agen parasit tidak lepas dari kesehatan hewan ternak dewasa ini. Banyaknya penyakit parasit yang mengganggu kesehatan hewan ternak seperti sapi, kambing, kerbau dan domba menjadi faktor penentu dalam tingginya tingkat produksi. Parasit yang berada didalam tubuh hewan yang terinfeksi akan menyebabkan defesiensi nutrisi pada hewan yang mengakibatkan pada penurunan hasil produksi ternak seperti penurunan produksi susu, karkas, dan kualitas bulu pada domba, Sehingga Negara penghasil benang wol terbesar seperti Australia akan mengalami keruagian jutaan dolar setiap tahunnya. peran dokter hewan sangatlah berpengaruh dalam mengontrol kemunculan penyakit parasit (Eberhardt, 2007).
Hal ini seperti penyakit Strongylosis yang dapat menyerang ternak, penyakit nematoda  ini dapat ditularkan dari hewan ternak ke hewan ternak lainnya,  penyebab dari penyakit ini tidak lain dari infeksi Strongyloides papillosus  pada saluran pencernaan hewan ternak yang terinfeksi. Sehingga infeksi parasit cacing usus pada kambing dan domba akan mengurangi fungsi kemampuan mukosa usus dalam transpor glukosa dan metabolit lainnya. Apa­bila ketidak seimbangan ini cukup besar, akan menye­babkan menurunnya nafsu makan, serta tingginya kadar nitrogen di dalam tinja yang dibuang karena tidak dipergunakan. Akibatnya keterlambatan per­tumbuhan akan terjadi, terutama pada ternak muda pada masa pertumbuhan. Oleh karena itu infeksi parasit ca­cing usus akan bersifat patogenik, terutama jika bersamaan dengan kondisi pakan ternak yang bu­ruk. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada host bila agen parasit dalam jumlah yang besar (Eberhard, 2008).
I.          Etiologi
Penyebab utama penyakit strongylosis adalah infeksi dari Strongyloides papilosus yang umumnya disebut “cacing benang usus”, Strongyloides papilosus memiliki mulut yang besar dan terbuka ke sebuah capsula bukalis yang dapat mempunyai gigi, parasit ini bila makan akan mengambil segumpal lapisan mukosa usus dan memasukkannya ke kapsula bukalis. parasit ini merupakan parasit nematoda yang menimbulkan kerusakan pada epitel usus halus sehingga menggagu tingkat absorbsi pada usus. Penurunan penyerapat nutrisi pada usus halus dapat berakibat menimbulkan defesiensi nutrisi pada hewan yang terinfeksi. Strongyloides papilosus sering menyerang domba dan ruminansia kecil lainnya (Seddon,  1957).
Strongyloides papilosus menginfeksi melalui pakan maupun menembus barier kulit host. Sehingga pada bahagian kulit yang di tembus oleh larva cacing ini sering menimbulkan gejala peradangan kemerahan dan gatal (Georgi, 1975).
Cacing ini terdapat diseluruh dunia pada mukosa usus halus domba, kambing sapi dan berbagai ruminansia lainnya. Kondisi dan umur domba dari semua tingkat umur dapat terinfeksi oleh Nematoda ini,  akan tetapi tingkat infeksinya pada hewan muda lebih tinggi jika dibandingkan dengan hewan tua (Seddon,  1957).




II.                Klasifikasi dan Morfologi

Phylum                        : Nemathelminthes
Sub class                     : Secernentea
Class                            : Nematoda
Ordo                            : Rhabditida
Superfamily                 : Subuluroidea
Family                         : Strongyloididae
Genus                          : Strongyloides
spesies                         : Strongyloides papilosus

Cacing betina menghasilkan telur yang berbentuk elips, berdinding tipis, berembrio berukuran 40-64 x 20-42 mikron. Bentuk bebas betina memiliki ukuran tubuh  ± 1 x 0,05 mm, esofagus ± sepanjang tubuh serta pendek dan terbuka, uterus berupa satu barisan lurus yang berisi 40 - 50 telur. Vulva terbuka di sisi ventral dekat pertengahan tubuh (Stephen et al, 2003).
Cacing jantan hidup bebas dengan panjang 700-825 mikron. Dengan dilengkapi spikulum yang kuat, melengkung dengan panjang sekitar 33 mikron dan gubernakulum yang panjangnya 20 mikron dan lebar 2,5 mikron. Masa prepaten 7-9 hari (Streit, 2008).
Sedangkan bentuk parasitik struktur tunuh betina halus dan transparan, ukuran 2,2 x 0,05 mm, esofagus filiform sepanjang tubuh. Pada betina gravid uterus berisi 10-20 telur yang mengandung embrio. Vulva pada sisi ventral 1/3 posterior panjang tubuh dan Jantan belum ada peneliti yang menemukan bentuk parasitik jantan ini selain Kreist dan Faust. Oleh karena itu dianutlah pemahaman bahwa bentuk parasitik betina pada ruminansia berkembang biak secara parthenogenesis. Larva rhabditiform memiliki Ukuran tubuh ± 380 x 20 u, esofagus pendek dan terbuka, genital primordium besar dan ovoid terletak di ventral dekat intestinal. Ekor runcing. Sedangkan Larva filariform  memiliki ukuran tubuh  ± 630 x 16 u, mulut tertutup, esophagus sepanjang badan, ujung ekor bercabang dua pendek (fork tail)  atau tumpul (Brown,1983).

I.                   Siklus Hidup
Siklus hidup cacing ini mempunyai keunikan karena memiliki generasi parasitik dan generasi bebas. Terdapat dua kemungkinan jalur yang dilalui oleh generasi bebas. Generasi I hidup bebas yang mempunyai jantan dan betina sedangkan generasi II bersifat patogenesis dan hanya memiliki cacing betina yang menghasilkan telur berembrio.  dan masing generasi memiliki 4 stadium larva yaitu L1, L2, L3 dan L4. Pada stadium L1 (rhabditiform) cacing menetas dari telur yang dikeluarkan melalui feses host yang terinfeksi (Brown,1983).
Pada fase bebas telur berembrio yang dikeluarkan akan menetas dan menghasilkan L1 betina dan L1 jantan yang dapat tumbuh diluar tubuh host hingga tumbuh menjadi L4 stadium dewasa dan menghasilkan telur berembrio yang kemuadian akan menetas dan tumbuh menjadi L1, L2, dan L3 stadium infektif (ftlaform), pada fase parasitik  L3 dapat menginfeksi host dengan menembus barier kulit (larva migrant) dari hewan terinfeksi (Nemetschke, 2010).
Cacing masuk kedalam aliran darah menuju jantung dan sampai ke paru-paru. Sesampainya di alveoli paru cacing L3 merusak alveoli paru dan menuju ke saluran trakea dan masuk kedalam esophagus dan menuju ke saluran usus halus. L3 juga dapat masuk kedalam tubuh host melalui pakan yang dimakan oleh host, larva infektif biasanya terdapat pada ujung daun pada rumput gembala yang basah (berembun) hal ini karena larva L3 menyukai kelembaban dan akan mati bila terkena sinar UV (Ogawa, 2009).
Larva yang tertelan akan tumbuh dan berkembang didalam saluran usus halus host menjadi L4 dan memproduksi telur berembrio yang nantinya akan dikeluarkan melalui feses host dan sikluspun terulang kembali. Pada kondisi tertentu L2 yang tumbuh di luar tubuh host dapat langsung menginfeksi saat masuk ke tahap L3 sehingga tidak menjadi L4 (stadium dewasa) diluar tubuh host dan tidak terjadinya perkawinan dengan L4  jantan diluar tubuh host  (Streit, 2008).
Menurut Wilford (1962) adanya 2 Geneasi berbeda diduga tergantung oleh iklim lingkungan sekitar, kalau lingkungannya mendukung maka generasi hidup bebas yang akan dominan tetapi kalau keadaan iklim lingkungan tidak  mendukung bentuk parasit yang akan dominan. Pada generasi parasit hanya cacing betina yang berperan menyebabkan patogenik.                   

I.                   Epidemiologi
Tersebar di daerah beriklim tropis atau subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab. Prevalensi penyakit di daerah endemis tidak diketahui secara pasti. Cuaca mempunyai peranan penting dalam penularan cacing Nematoda, Menurut Supan Kusumamihardja (1982)  dipagi hari  larva Nematoda yang terdapat di pucuk-pucuk rumput  lebih banyak daripada disiang hari dan sore hari  jumlahnya naik lagi,  tetapi tidak mencapai jumlah seperti pada pagi hari.
kondisi iklim terutama curah hujan mempengaruhi derajat infeksi cacing. Menurut Soolsby (1965),  di daerah yang mempunyai empat musim,  infeksi dimusim semi lebih besar daripada musim panas, musim panas lebih besar dari pada musim gugur dan musim gugur lebih besar daripada musim semi.
Sedangkan di daerah tropis seperti Indonesia menurut Soetijono et al.,   (1976)  dan Supan Kusumamihardja (1982) menyatakan bahwa infeksi di musim penghujan lebih tinggi daripada musim kemarau.
Selanjutnya Grofton (1954)  telah menghitung telur Nematoda pada domba betina, di. mana ia menyimpulkan bahwa ada dua kelompok periode kenaikan telur setiap tahun dalam tinja domba,  yakni pada musim semi dan pada akhir musim panas.

II.          Patogenesa Penyakit
Penyebab cacingan antara lain konsumsi hijauan yang masih berembun dan tercemar vektor pembawa cacing. Pada hewan ternak yang terinfeksi oleh cacing  Strongyloides papillosus  perubahan terjadi pada permukaan dinding mukosa usus rusaknya vili-vili usus yang menyebabkan terjadinya penurunan absorbsi cairan dalam usus yang berujung terjadinya diare pada hewan yang terinfeksi (Brown,1983).
Hal ini disebabkan oleh cacing betina yang berkembang biak dengan cara partogenesis hidup menempel pada sel-sel epitelum mukosa intestinum terutama pada duodenum, di tempat ini cacing dewasa meletakkan telurnya. Telur kemudian menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini bergerak masuk kedalam lumen usus, keluar dari hospes melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform yang dapat menginfeksi hospes yang sama (Chin, 2000).
Strongyloides papillosus dapat melewati barier plasenta, menginfeksi janin sebelum kelahiran. Nematoda ini juga terdapat dalam kolostrum pada bayi baru lahir sehingga hewan muda dapat dengan mudah terserang. Pada kasus tertentu infeksi dari Strongyloides dapat menimbulkan pembengkakan kelenjar tiroid dan sekitar rahang yang lebih dikenal dengan istilah bottle jaw, hal ini dikarenakan bentuk dari moncong kambing atau domba yang terinfeksi berbentuk menyerupai botol. Infeksi stroingiloides pada kelenjar tiroid masuk melalui sirkulasi darah ke kelenjar tiroid dan menyebabkan peradangan yang berakibat terbentuknya udem pada kelenjar tiroid sekitar rahang (Urquhart,2003).
Terjadinya pnemonia pada host akibat rusaknya alveoli paru disebabkan oleh Larva menembus saluran limfatik atau kapiler terbawa sampai ke vetrikel kanan jantung dan kapiler pulmonal. Kemudian dari kapiler pulmonal melakukan penetrasi ke luar alveoli paru. Diduga saat keluar dari alveoli pulmonal parasit ini menyebabkan perdarahan dan menimbulkan infiltrasi seluler pada paru sebelum Strongyloides papillosus menuju kesaluran cerna (Chin, 2000).
Pada hewan yang terinfeksi dalam keadaan tertentu dapat secara tiba-tiba sebuh dengan sendirinya hal disebabkan oleh adanya fenomena self cure adalah suatu fenomena yang sering terjadi pada suatu priode hujan yang lebat dimana jumlah telur dalam feses tiba-tiba menurun dengan tajam karna sebahagian besar cacing dewasa dalam abomasum dikeluaran secara paksa sebagai akibat dari reaksi intermediate type hypersensitivity terhadap antigen larva yang sedang berkembang.
Penyebab fenomena ini memilki keuntungan bagi induk semang dan parasit karena tiba-tiba darah induk semang berhenti di hisap karena sebahagian besar  cacing dikeluarkan dari tubuh sedangkan parasit yang dewasa dan tua digantikan oleh parasit yang lebih kuat menghisap darah (Soulsby,1981).

III.       Gejala Klinis
Gejala klinis yang khas dari infeksi Strongyloides papillosus  adalah pada hewan muda lemah, kakeksia, anoreksia, anemia, bulu suram, diare dan pertumbuhan terhambat (Georgi, 1975).
Gejala klinis yang lain timbulnya dermatitis ringan pada saat larva cacing masuk ke dalam kulit pada awal infeksi. Infeksi lain yaitu batuk bronki, kadang-kadang pnemonia jika larva masuk ke paru-paru, munculnya gejala-gejala peradangan pada abdomen yang disebabkan oleh cacing betina dewasa yang menempel pada mukosa usus (Wilford, 1962).
Gejala infeksi kronis tergantung kepada intensitas dari infeksi, bisa ringan dan bisa juga berat. Gejala yang paling khas adalah sakit perut, umumnya sakit pada hulu hati seperti gejala ulcus ventriculi, diare dan urticaria kadang-kadang timbul nausea, berat badan turun, lemah dan konstipasi. Hal ini disebabkan oleh rusaknya vili-vili usus oleh infeksi cacing strongiolides. Sehingga penyerapan zat-zat mineral dan nutrisi didalam usus berkurang, yang berinfestasi pada timbulnya diare yang diikuti keadaan dehidrasi pada hewan yang terinfeksi, bila hal ini terjadi terus menerus akan berakibat terjadinya defesiensi nutrisi dengan gejala klinis kurus (kakeksia), bulu kusam dan terhambatnya pertumbuhan dari hewan yang sakit (Stephen et al, 2003).
Pembengkakan kelenjar tiroid, pnemonia, dan peradangan pada daerah kulit akibat infasi larva yang menembus jaringan kulit dan memacu respon peradangan sekitar daerah infasi larva infektif (Georgi, 1975).

IV.            Diagnosa
Diagnosa infeksi Strongyloides papillosus dilakukan saat ini masih didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis dengan pemeriksaan sampel feses.
a.       Diagnosa Lapangan
Diagnosa di dasarkan adanya gejala infeksi cacing seperti hewan mengalami defesiensi nutrisi yang menunjukan kekusaman pada bulu, kerontokan, kakeksia, penurunan hasil produksi. Sedangkan pada hewan mati dapat dilakukan bedah bangkai pada usus halus
b.      Diagnosa Laboratorium
Diagnosis infestasi Strongyloides papillosus  dibuat dengan identifikasi sampel feses. cacing dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskopis ada tidaknya telur cacing dalam sampel. Pemeriskaan yang biasa dilakukan yaitu pemeriksaan Uji Natif, Uji Sentrifus dan uji Mc-Master untuk melihat banyaknya telur
penis
 (Cable,1968).


VIII.   Treatment
Pengobatan dilakukan dengan diawali pemberian obat cacing seperti Ivermectin dengan dosis 1 ml/50kg BB, mebendazol 15 mg/kg BB, Pyrantel tartrat 25 mg/kg BB secar oral. Menghentikan diare bila hewan mengalami diare yakni dengan memberikan karbon aktif. Bila hewan ternak mengalami dehidrasi dapat dilakukan suplai cairan tubuh dan untuk menambah nafsu makan dapat di berikan Vitamin B-complex.

IX .    Tindakan Preventif
Dapat dilakukan dengan cara mengandangkan hewan ternak, memberikan pakan berkualitas, menjaga sanitasi kandang, pemberian obat cacing secara berkala dan kontrol kesehatan dari dokter hewan setempat. Tindakan lainnya yaitu menghindari padang gembala yang basah sehingga tertelannya larva infektif yang menempel di daun dapat di hindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar